Senin, 16 April 2012

Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Asma wa Sifat


I.          PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya kepada kita semua. Sehingga kita dapat belajar Ilmu Tauhid. Shalawat serta salam kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita menuju jalan yang lurus.
 Ilmu Tauhid merupakan ilmu yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan tuhan Rabbul ‘Alamin. Oleh karna itu, Ilmu Tauhid sangatlah penting dipelajari secara seksama.

II.       RUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan tema yang telah saya terima sebagai materi makalah yaitu pembagian Ilmu Tauhid, yang meliputi:
1.                            Tauhid Rububiyah
2.                            Tauhid Uluhiyah
3.                            Asma wa Sifat

III.    PEMBAHASAN
1.                Tauhid Rububiyah
Kata at-tauhid berasal dari kata wahhada, yuwahhidu, tauhidan. Kata wahhada memiliki makna kesendirian sesuatu dengan dzat, sifat atau af’alnya dan tidak adanya sesuatu yang menyerupainya dan menyertainya dalam hal kesendiriannya.[1]
Tauhid rububiyah ialah suatu kepercayaan bahwa yang menciptakan alam dunia beserta isinya ini hanyalah Allah sendiri tanpa bantuan siapapun. Dunia ini ada yang menjadikan yaitu Allah SWT. Allah maha kuat tiada kekuatan yang menyamai af’al Allah. Maka timbullah kesadararan bagi mahluk untuk mengagungkan Allah. Mahluk harus bertuhan hanya kepada Allah, tidak kepada yang lain. Maka keyakinan inilah yang disebut dengan tauhid rububiyah. Jadi tauhid rububiyah adalah tauhid yang berhubungan dengan ketuhanan.[2]
Sebagaimana telah dikatahui bahwa iman kepada wujud Allah, ke-Esaan, serta rububiyyah-Nya atas seluruh mahluknya merupakan perkara yang memang hati telah tercipta dan jiwa telah terbentuk untuknya, juga telah sepakat atasnya seluruh umat, sebab Allah sangat jelas dan sangat nyata sehingga tidak memerlukan dalil untuk membuktikan wujudnya. Firman Allah SWT:
قا لت رسلهم افى ا لله شك فا طر ا لسموات وا لارض
“Berkata para rasul mereka: ‘Apakah ada keraguan-keraguan terhadap Allah, pencipta langit dan bumi…?”. (QS. Ibrahim: 10).

Oleh karena itu persoalan ini tidak muncul didalam kitab Allah, tetapi dia menjadikannya termasuk perkara-perkara aksiomatis.[3]
Ungkapan serupa digambarkan melalui bait berikut:
وليس يصح ف ا لا ذهان شيء * ا ذاحتاج ا لنصارا لى د ليل
“Tidakkah dapat diterima akal suatupun, apabila adanya siang masih diperlukan bukti”.

Setelah mengutip ucapan Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim berkata: diketahui bahwa adanya Rabb yang maha tinggi lebih jelas bagi penalaran dan fitrah dari pada adanya siang. Siapa yang tidak melihat tanda-tanda itu pada penalaran serta fitrahnya hendaknya ia mencurigai keduanya.[4]
Allah pencipta alam beserta isinya, seperti firman Allah dalam Al-Qur’an:
ذا لكم ا لله ربكم لا ا له الا هو خا لق كل شيء فعبدوه وهو على كل شيء وكيل
Yang memiliki sifat-sifat demikian itu ialah Allah tuhan kamu, tidak ada tuhan selain dia, pencipta segala sesuatu maka sembahlah dia, dialah pemelihara segala sesuatu”. (QS. Al-An’am: 102).

Jadi kata rububiyah meyakini bahwa Allah SWT sebagai tuhan satu-satunya yang menguasai dan mengurus serta mengatur alam semesta. Tauhid rububiyah akan rusak apabila kita mengakui bahwa yang mengurus alam ini ada dua tuhan ataupun lebih. Seperti dipercayai oleh bangsa persi pada zaman dahulu. Adapun Al-Qur’an menetapkan ke-Esaan Allah dalam menjadikan alam (tauhid rububiyah) dengan berbagai dalil dan akal yang logis. Memang Al-Qur’an mengokohkan ke-Esaan Allah sebagaimana Al-Qur’an mengokohkan adanya Allah.[5]
Lebih jelasnya tauhid Rububiyah adalah keyakinan terhadap Allah sebagai tuhan satu-satunya yang menciptakan, menguasai dan mengurus serta mengatur alam semesta. Ini menunjukkan juga bahwa Allah itu Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya.

2.                Tauhid Uluhiyah
Definisi tauhid uluhiyyah menurut terminologi ialah keyakinan yang teguh bahwa hanya Allah yang berhak disembah disertai dengan pelaksanaan pengapdian atau penyambahan kepadanya saja dan tidak mengalihkannya kepada yang selainnya. Ungkapan yang paling detail tentang makna ini adalah ucapan syahadat yaitu Laa Ilaaha Illallaah yang maknanya tidak ada dzat yang berhak disembah selain Allah.[6]
Dengan kata lain tauhid uluhiyah adalah mengiktikadkan bahwa Allah sendirilah yang berhak disembah dan berhak dituju oleh semua hambanya, atau dengan kata lain tauhid uluhiyah adalah percaya sepenuhnya bahwa allah berhak menerima semua peribadatan mahluk, dan hanya Allah sajalah yang sebenarnya yang harus disembah.
Manusia bersujud kepada Allah. Allah tempat meminta, Allah tempat mengadu nasibnya, manusia wajib mentaati perintah dan menjauhi larangannya. Semua yang bersifat kebaktian kepada Allah tanpa perantara (wasilah). Allah melarang kita menyembah selainnya, seperti menyembah batu, menyembah matahari dan lain sebagainya. Dan itu semua adalah perbuatan syirik yang sangat besar dosanya dan sangat dibenci Allah, bahkan Allah tidak akan mengampuni dosa musyrik itu.
Dengan kata lain yang dimaksud tauhid uluhiyah adalah meyakini bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT. firman Allah SWT:
وا لهكم ا له واحد لاا له الاهوا لرحمن ا لرحيم
“Dan tuhanmu adalah tuhan yang maha esa, tidak ada tuhan selain dia, yang maha pemurah lagi maha penyayang”. (QS. Al-Baqoroh: 163).

Singkatnya, keyakinan tentang Allah. Allah sebagai tuhan satu-satunya, baik dzat maupun sifatnya, dan perbuatan itulah yang disebut tauhid uluhiyah. Uluhiyah kata nisbatnya dari kata Al-Illah yang berarti tuhan yang wajib ada, yaitu Allah, sedangkan uluhiyah berarti Allah sebagai satu-satunya tuhan.
Satu adalah Esa pada Dzat-Nya, berarti bahwa dzat Allah SWT tidak tersusun dari bagian-bagian, hal itu disebabkan karena dzat Allah SWT itu bukan benda fasik. Tidak seperti benda-benda fisik dan benda-benda lainnya.[7]
Kemudian dengan keyakinannya dia bermuamalah kepada Allah dengan ihlas, beribadah dan menghambakan diri hanya kepadanya, serta berdo’a dan berseru hanya kepadanya, ia juga mengimani bahwa Allah pengatur segala urusan, pencipta segala mahluk, pemilik asmaul husna dan sifat-sifat sempurna.[8]
Jadi tauhid Uluhiyah ialah kita percaya bahwa Allah lah satu-satunya tuhan yang wajib disembah dan tiada sekutu baginya. Untuk membedakan antara tauhid Rububiyah dan Uluhiah secara singkatnya adalah tauhid uluhiyah hanya dimiliki oleh orang-orang mu’min saja, sedangkan tauhid rububiyah semua orang mempercayainya, sekalipun dia adalah orang kafir.
3.     Asma wa Sifat
Iman kepada asma-asma Allah dan sifat-sifat Allah yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis yaitu mengimani semua asma-asma dan sifat-sifat Allah secara utuh tanpa menyamakannya dengan sifat dan nama manusia. Allah berfirman:
يعلم ما بين ايد يهم وما خلفهم ولايحيطون به علما
“Dia mengetahui apa yang ada dihadapan mereka dan apa yang ada dibelakang mereka sedang ilmu-ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya”. (QS. Thaha: 110).[9]

Manhaj Ahlussunah Waljamaah dalam bab asma dan sifat-sifat Allah adalah mensifatkan Allah dengan sifat-sifat yang telah ditetapkannya untuk dirinya atau yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Tanpa takwil, takyit, tamsil dan tasybih. Hal itu sejalan dengan apa yang telah digariskan Allah melalui firmannya:
ليس كمثله شيء وهوا لسميع ا لبصير
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengannya dan dia maha pendengar lagi maha penyayang. (QS. Asy-Syura: 11)[10]

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda:

“Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, barang siapa yang menghitungnya (membacanya) maka ia akan masuk surga.

Terdapat kesepakatan diantara para ulama salaf bahwa wajib mengimani semua nama-nama Allah. Misalnya Al-Qadir (yang maha kuasa) mengandung makna bahwa kita harus percaya bahwa Allah maha kuasa untuk melakukan segala hal, dan bahwa kekuasaan-Nya adalah sempurna dan segala hal yang ada di alam berasal dari kekuasaan-Nya.
Dalam teologi islam terdapat pertentangan mengenai masalah apakah tuhan mempunyai sifat atau tidak. Sifat, dalam arti sesuatu yang mempunyai wujud tersendiri. Sebagian aliran mengatakan ada dan sebagian lain mengatakan tidak. Disinggung Muhammad Abduh dalam risalah ia menyebut sifat-sifat tuhan. Mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi tuhan ataukah lain dari esensi tuhan. Ia jelaskan bahwa hal itu terletak diluar kemampuan manusia untuk mengetahuinya. Tetapi sungguhpun demikian ia kelihatannya lebih cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi tuhan walaupun ia tidak tegas mengatakan demikian.[11]
Al-Qur’an menawarkan terhadap orang-orang kafir dan penolak dalil dimana pikiran-pikiran rasional tidak mempunyai pilihan selain untuk menegaskan dan dimana tidak ada pikiran logis yang dapat menolaknya. Allah maha mulia berfirman:

Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu (sebab)pun ataukah mereka telah menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan seluruh langit dan bumi itu? Namun mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). (QS. Ath-Thur: 35-36).

Al-Qur’an mengatakan kepada mereka, Kamu ada dan kamu tidak dapat mengingkari hal ini, langit dan bumi ada diluar keraguan apapun, ini semata-mata merupakan persoalan yang masuk akal terhadap pikiran yang rasional bahwa hal-hal yang ada pasti memiliki sebab-sebab keberadaannya. Hukum ini menyatakan bahwa suatu hal mungkin tidak dapat terjadi dengan sendirinya, dan sesuatu itu tidak dapat dengan sendirinya tanpa hal lain yang menyebabkannya. Karena sesuatu itu tidak memiliki kekuatan dalam dirinya sendiri untuk eksis dengan sendirinya. Dan sesuatu itu tidak dapat dengan sendirinya menyebabkan sesuatu yang lain untuk eksis. Karena sesuatu itu tidak dapat memberikan suatu lainnya apa yang ia sendiri tidak miliki.[12]
Kaum muslimin pada abad hijriyah kalau bertemu dengan ayat-ayat yang membicarakan sifat-sifat tuhan, seperti tempat yang berisi tangan tempat bagi tuhan, tidak mau membicarakan isinya juga tidak mau menukilkan isinya meskipun ia berpendirian seharusnya tidak diartikan menurut lahirnya, karna tuhan maha suci dan tidak bisa disamakan dengan mahluk. Dengan kata lain tidak ada persamaan antara alam lahir dengan alam ghaib, karena itu persoalan sifat tidak pernah menjadi pembicaraan pada masa sahabat dan tabi’in. akan tetapi pada masa sesudah mereka timbullah persoalan sifat dan menjadi pembicaraan golongan-golongan islam.
Secara singkat dalam soal tentang sifat ada 2 pendapat:
1.     Pendapat mu’tazilah yang meniadakan bilangan bagaimanapun juga macamnya, karena sifat-sifat adalah hakekat dzat, sedang dzat tuhan satu, Esa tidak mungkin yang qodim (terbilang).
2.     Pendapat yang mengatakan bahwa sifat-sifat itu lain dari pada dzat, pendapat ini dibagi menjadi dua:
a.      Pendapat orang masehi yang mengatakan berbilangnya yang qodim, dan masing-masing berdiri sendiri.
b.     Pendapat golongan Asy-Ariyah yang mengatan bahwa sifat-sifat tuhan meskipun qodim, ada pada dzat tuhan yang satu.
Kalau kita perbandingkan pendapat-pendapat tersebut, pendapat mu’tazilah yang lebih dekat dengan prinsip-prinsip keesaan. Meskipun mereka disayangkan mencetuskan persoalan yang sukar diselesaikan akal manusia hanya dari segi inilah perbuatan mereka dikatakan jauh dari syara’ dan berlawanan dengan Al-Qur’an. Pendapat yang benar dalam soal sifat ialah pengakuan adanya sifat-sifat pada tuhan tanpa membicarakan qodim.[13]

IV.    KESIMPULAN
1.     Kata at-tauhid berasal dari kata wahhada-yuwahhidu-tauhidan. Kata wahhada memiliki makna kesendirian sesuatu dengan dzat, sifat atau af’alnya dan tidak adanya sesuatu yang menyerupainya dan menyertainya dalam hal kesendiriannya.
2.     Tauhid rububiyah ialah suatu kepercayaan bahwa yang menciptakan alam dunia beserta isinya ini hanyalah Allah sendiri tanpa bantuan siapapun
3.     Tauhid uluhiyah adalah mengiktikadkan bahwa Allah sendirilah yang berhak disembah dan berhak dituju oleh semua hambanya
4.     Iman kepada asma-asma Allah dan sifat-sifat Allah yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis yaitu mengimani semua asma-asma dan sifat-sifat Allah secara utuh tanpa menyamakannya dengan sifat dan nama manusia.
5.     Bukhari dan muslim meriwayatkan bahwa Abu Burairah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, barang siapa yang menghitungnya (membacanya) maka ia akan masuk surga.

V.       PENUTUP
Demikian makalah ini saya buat. Adapun dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan yang masih perlu saya sempurnakan. Untuk itu kritik dan saran sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan saya ucapan terima kasih atas segala partisipasinya, semoga bermanfa’at. Amin.







[1] Muhammad bin A.W. Al-‘Aqil, Manhaj ‘Aqiqah Imam Asy-Syafi’I, cet.5, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2009), hlm. 279
[2]  Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 17
[3] Kenyataan yang diterima sebagai kebenaran tanpa perlu dibuktikan lagi
[4] Muhammad bin A.W. Al-‘Aqil, Op.cit, hlm. 367
[5] Zainuddin, Op.cit, hlm. 20
[6] Muhammad bin A.W. Al-‘Aqil, Op.cit, hlm. 279
[7] Zainuddin, Op.cit, hlm. 18
[8] Muhammad bin A.W. Al-‘Aqil, Op.cit, hlm. 230
[9] Zainuddin, Op.cit, hlm. 22
[10] Muhammad bin A.W. Al-‘Aqil, Op.cit, hlm. 397-398
[11] Harun Nasution, Muhammad Abduh Dan Teologi Rasional Mu’tazilah,  (jakarta: universitas indonesia (UI Press), 1987), hlm. 71
[12] Umar Al-Asyqar, Belajar Tentang Allah, (Jatiwaringin: Sahara intisains, 2008), hlm. 106-107
[13] Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam),  (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1980), hlm. 95-97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar