I.
PENDAHULUAN
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya kepada kita semua. Sehingga
kita dapat belajar Ilmu Tauhid. Shalawat serta salam kita curahkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita menuju jalan yang lurus.
Ilmu Tauhid merupakan ilmu yang mempelajari
hal-hal yang berkaitan dengan tuhan Rabbul ‘Alamin. Oleh karna itu, Ilmu Tauhid
sangatlah penting dipelajari secara seksama.
II. RUMUSAN
MASALAH
Sesuai
dengan tema yang telah saya terima sebagai materi makalah yaitu pembagian Ilmu
Tauhid, yang meliputi:
1.
Tauhid
Rububiyah
2.
Tauhid
Uluhiyah
3.
Asma
wa Sifat
III. PEMBAHASAN
1.
Tauhid
Rububiyah
Kata
at-tauhid berasal dari kata wahhada, yuwahhidu, tauhidan. Kata wahhada
memiliki makna kesendirian sesuatu dengan dzat, sifat atau af’alnya
dan tidak adanya sesuatu yang menyerupainya dan menyertainya dalam hal
kesendiriannya.[1]
Tauhid
rububiyah ialah suatu kepercayaan bahwa yang menciptakan alam dunia beserta
isinya ini hanyalah Allah sendiri tanpa bantuan siapapun. Dunia ini ada yang
menjadikan yaitu Allah SWT. Allah maha kuat tiada kekuatan yang menyamai af’al
Allah. Maka timbullah kesadararan bagi mahluk untuk mengagungkan Allah. Mahluk
harus bertuhan hanya kepada Allah, tidak kepada yang lain. Maka keyakinan
inilah yang disebut dengan tauhid rububiyah. Jadi tauhid rububiyah
adalah tauhid yang berhubungan dengan ketuhanan.[2]
Sebagaimana
telah dikatahui bahwa iman kepada wujud Allah, ke-Esaan,
serta rububiyyah-Nya atas seluruh mahluknya merupakan perkara yang
memang hati telah tercipta dan jiwa telah terbentuk untuknya, juga telah
sepakat atasnya seluruh umat, sebab Allah sangat jelas dan sangat nyata
sehingga tidak memerlukan dalil untuk membuktikan wujudnya. Firman Allah SWT:
قا لت رسلهم افى ا
لله شك فا طر ا لسموات وا لارض
“Berkata
para rasul mereka: ‘Apakah ada keraguan-keraguan terhadap Allah, pencipta
langit dan bumi…?”. (QS. Ibrahim: 10).
Oleh
karena itu persoalan ini tidak muncul didalam kitab Allah, tetapi dia
menjadikannya termasuk perkara-perkara aksiomatis.[3]
Ungkapan
serupa digambarkan melalui bait berikut:
وليس يصح ف ا لا
ذهان شيء * ا ذاحتاج ا لنصارا لى د ليل
“Tidakkah dapat
diterima akal suatupun, apabila adanya siang masih diperlukan bukti”.
Setelah
mengutip ucapan Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim berkata: diketahui bahwa adanya Rabb
yang maha tinggi lebih jelas bagi penalaran dan fitrah dari pada adanya
siang. Siapa yang tidak melihat tanda-tanda itu pada penalaran serta fitrahnya
hendaknya ia mencurigai keduanya.[4]
Allah
pencipta alam beserta isinya, seperti firman Allah dalam Al-Qur’an:
ذا لكم ا لله ربكم
لا ا له الا هو خا لق كل شيء فعبدوه وهو على كل شيء وكيل
“Yang memiliki sifat-sifat demikian itu
ialah Allah tuhan kamu, tidak ada tuhan selain dia, pencipta segala sesuatu
maka sembahlah dia, dialah pemelihara segala sesuatu”. (QS.
Al-An’am: 102).
Jadi kata rububiyah meyakini bahwa Allah SWT
sebagai tuhan satu-satunya yang menguasai dan mengurus serta mengatur alam
semesta. Tauhid rububiyah akan rusak apabila kita mengakui bahwa yang
mengurus alam ini ada dua tuhan ataupun lebih. Seperti dipercayai oleh bangsa
persi pada zaman dahulu. Adapun Al-Qur’an menetapkan ke-Esaan Allah dalam menjadikan alam (tauhid rububiyah)
dengan berbagai dalil dan akal yang logis. Memang Al-Qur’an mengokohkan ke-Esaan Allah sebagaimana Al-Qur’an mengokohkan adanya Allah.[5]
Lebih jelasnya tauhid Rububiyah adalah keyakinan
terhadap Allah sebagai tuhan satu-satunya yang menciptakan, menguasai dan
mengurus serta mengatur alam semesta. Ini menunjukkan juga bahwa Allah itu Esa
dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
2.
Tauhid
Uluhiyah
Definisi
tauhid uluhiyyah menurut terminologi ialah keyakinan yang teguh
bahwa hanya Allah yang berhak disembah disertai dengan pelaksanaan pengapdian
atau penyambahan kepadanya saja dan tidak mengalihkannya kepada yang selainnya.
Ungkapan yang paling detail tentang makna ini adalah ucapan syahadat
yaitu Laa Ilaaha Illallaah yang maknanya tidak ada dzat yang
berhak disembah selain Allah.[6]
Dengan
kata lain tauhid uluhiyah adalah mengiktikadkan bahwa Allah sendirilah
yang berhak disembah dan berhak dituju oleh semua hambanya, atau dengan kata
lain tauhid uluhiyah adalah percaya sepenuhnya bahwa allah berhak
menerima semua peribadatan mahluk, dan hanya Allah sajalah yang sebenarnya yang
harus disembah.
Manusia
bersujud kepada Allah. Allah tempat meminta, Allah tempat mengadu nasibnya,
manusia wajib mentaati perintah dan menjauhi larangannya. Semua yang bersifat
kebaktian kepada Allah tanpa perantara (wasilah). Allah melarang kita
menyembah selainnya, seperti menyembah batu, menyembah matahari dan lain
sebagainya. Dan itu semua adalah perbuatan syirik yang sangat besar
dosanya dan sangat dibenci Allah, bahkan Allah tidak akan mengampuni dosa musyrik
itu.
Dengan kata lain yang
dimaksud tauhid uluhiyah adalah meyakini bahwa tidak ada tuhan selain
Allah SWT. firman Allah SWT:
وا لهكم ا له واحد لاا له الاهوا لرحمن ا
لرحيم
“Dan tuhanmu adalah
tuhan yang maha esa, tidak ada tuhan selain dia, yang maha pemurah lagi maha penyayang”. (QS.
Al-Baqoroh: 163).
Singkatnya,
keyakinan tentang Allah. Allah sebagai tuhan satu-satunya, baik dzat
maupun sifatnya, dan perbuatan itulah yang disebut tauhid uluhiyah.
Uluhiyah kata nisbatnya dari kata Al-Illah yang berarti tuhan
yang wajib ada, yaitu Allah, sedangkan uluhiyah berarti Allah sebagai
satu-satunya tuhan.
Satu
adalah Esa
pada Dzat-Nya,
berarti bahwa dzat Allah SWT tidak tersusun dari bagian-bagian, hal itu
disebabkan karena dzat Allah SWT itu bukan benda fasik. Tidak
seperti benda-benda fisik dan benda-benda lainnya.[7]
Kemudian
dengan keyakinannya dia bermuamalah kepada Allah dengan ihlas, beribadah dan
menghambakan diri hanya kepadanya, serta berdo’a dan berseru hanya kepadanya,
ia juga mengimani bahwa Allah pengatur segala urusan, pencipta segala mahluk,
pemilik asmaul husna dan sifat-sifat sempurna.[8]
Jadi
tauhid Uluhiyah ialah kita percaya bahwa Allah lah satu-satunya tuhan
yang wajib disembah dan tiada sekutu baginya. Untuk membedakan antara tauhid Rububiyah
dan Uluhiah secara singkatnya adalah tauhid uluhiyah hanya
dimiliki oleh oran g-orang mu’min saja, sedangkan
tauhid rububiyah semua oran g
mempercayainya, sekalipun dia adalah oran g
kafir.
3.
Asma
wa Sifat
Iman
kepada asma-asma Allah dan sifat-sifat Allah yang telah
disebutkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis yaitu mengimani semua asma-asma
dan sifat-sifat Allah secara utuh tanpa menyamakannya dengan sifat dan
nama manusia. Allah berfirman:
يعلم ما بين ايد
يهم وما خلفهم ولايحيطون به علما
“Dia
mengetahui apa yang ada dihadapan mereka dan apa yang ada dibelakang mereka
sedang ilmu-ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya”. (QS.
Thaha: 110).[9]
Manhaj
Ahlussunah Waljamaah
dalam bab asma dan sifat-sifat Allah adalah mensifatkan Allah
dengan sifat-sifat yang telah ditetapkannya untuk dirinya atau yang
telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Tanpa takwil, takyit, tamsil
dan tasybih. Hal itu sejalan dengan apa yang telah digariskan Allah
melalui firmannya:
ليس كمثله شيء وهوا
لسميع ا لبصير
“Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengannya dan dia maha pendengar lagi maha penyayang. (QS.
Asy-Syura: 11)[10]
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abu Hurairah r.a.
berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Allah
memiliki sembilan puluh sembilan nama, barang siapa yang menghitungnya
(membacanya) maka ia akan masuk surga.
Terdapat
kesepakatan diantara para ulama salaf bahwa wajib mengimani semua
nama-nama Allah. Misalnya Al-Qadir
(yang maha kuasa) mengandung makna bahwa kita harus percaya bahwa Allah maha
kuasa untuk melakukan segala hal, dan bahwa kekuasaan-Nya adalah sempurna dan
segala hal yang ada di alam
berasal dari kekuasaan-Nya.
Dalam
teologi islam terdapat pertentangan mengenai masalah apakah tuhan
mempunyai sifat atau tidak. Sifat, dalam arti sesuatu yang mempunyai wujud
tersendiri. Sebagian aliran mengatakan ada dan sebagian lain mengatakan tidak.
Disinggung Muhammad Abduh dalam risalah ia menyebut sifat-sifat
tuhan. Mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi tuhan
ataukah lain dari esensi tuhan. Ia jelaskan bahwa hal itu terletak
diluar kemampuan manusia untuk mengetahuinya. Tetapi sungguhpun demikian ia
kelihatannya lebih cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi
tuhan walaupun ia tidak tegas mengatakan demikian.[11]
Al-Qur’an
menawarkan terhadap orang-orang kafir dan penolak dalil dimana pikiran-pikiran
rasional tidak mempunyai pilihan selain untuk menegaskan dan dimana tidak ada
pikiran logis yang dapat menolaknya. Allah maha mulia berfirman:
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu (sebab)pun ataukah mereka telah
menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan seluruh
langit dan bumi itu? Namun mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).
(QS. Ath-Thur: 35-36).
Al-Qur’an
mengatakan kepada mereka, “Kamu
ada dan kamu tidak dapat mengingkari hal ini, langit dan bumi ada diluar
keraguan apapun”,
ini semata-mata merupakan persoalan yang masuk akal terhadap pikiran yang
rasional bahwa hal-hal yang ada pasti memiliki sebab-sebab keberadaannya. Hukum
ini menyatakan bahwa suatu hal mungkin tidak dapat terjadi dengan sendirinya,
dan sesuatu itu tidak dapat dengan sendirinya tanpa hal lain yang
menyebabkannya. Karena sesuatu itu tidak memiliki kekuatan dalam dirinya
sendiri untuk eksis dengan sendirinya. Dan sesuatu itu tidak dapat dengan
sendirinya menyebabkan sesuatu yang lain untuk eksis. Karena sesuatu itu tidak
dapat memberikan suatu lainnya apa yang ia sendiri tidak miliki.[12]
Kaum
muslimin pada abad hijriyah kalau bertemu dengan ayat-ayat yang membicarakan sifat-sifat
tuhan, seperti tempat yang berisi tangan tempat bagi tuhan, tidak mau
membicarakan isinya juga tidak mau menukilkan isinya meskipun ia berpendirian
seharusnya tidak diartikan menurut lahirnya, karna tuhan maha suci dan tidak
bisa disamakan dengan mahluk. Dengan kata lain tidak ada persamaan antara alam
lahir dengan alam ghaib, karena itu persoalan sifat tidak pernah menjadi
pembicaraan pada masa sahabat dan tabi’in. akan tetapi pada masa sesudah mereka
timbullah persoalan sifat dan menjadi pembicaraan golongan-golongan islam.
Secara
singkat dalam soal tentang sifat ada 2 pendapat:
1. Pendapat mu’tazilah yang meniadakan
bilangan bagaimanapun juga macamnya, karena sifat-sifat adalah
hakekat dzat, sedang dzat tuhan satu, Esa
tidak mungkin yang qodim (terbilang).
2. Pendapat yang mengatakan bahwa sifat-sifat
itu lain dari pada dzat, pendapat ini dibagi menjadi dua:
a.
Pendapat
orang masehi yang mengatakan berbilangnya yang qodim, dan masing-masing
berdiri sendiri.
b.
Pendapat
golongan Asy-Ariyah yang mengatan bahwa sifat-sifat tuhan meskipun qodim,
ada pada dzat tuhan yang satu.
Kalau
kita perbandingkan pendapat-pendapat tersebut, pendapat mu’tazilah yang lebih
dekat dengan prinsip-prinsip keesaan. Meskipun mereka disayangkan mencetuskan
persoalan yang sukar diselesaikan akal manusia hanya dari segi inilah perbuatan
mereka dikatakan jauh dari syara’ dan berlawanan dengan Al-Qur’an.
Pendapat yang benar dalam soal sifat ialah pengakuan adanya sifat-sifat
pada tuhan tanpa membicarakan qodim.[13]
IV. KESIMPULAN
1.
Kata
at-tauhid berasal dari kata wahhada-yuwahhidu-tauhidan. Kata wahhada
memiliki makna kesendirian sesuatu dengan dzat, sifat atau af’alnya
dan tidak adanya sesuatu yang menyerupainya dan menyertainya dalam hal
kesendiriannya.
2.
Tauhid
rububiyah ialah suatu kepercayaan bahwa yang
menciptakan alam dunia beserta isinya ini hanyalah Allah sendiri tanpa bantuan
siapapun
3.
Tauhid
uluhiyah adalah mengiktikadkan bahwa Allah
sendirilah yang berhak disembah dan berhak dituju oleh semua hambanya
4.
Iman
kepada asma-asma Allah dan sifat-sifat Allah yang telah
disebutkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis yaitu mengimani semua asma-asma
dan sifat-sifat Allah secara utuh tanpa menyamakannya dengan sifat dan
nama manusia.
5.
Bukhari
dan muslim meriwayatkan bahwa Abu Burairah r.a. berkata: Rasulullah SAW
bersabda, “Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, barang siapa yang
menghitungnya (membacanya) maka ia akan masuk surga.
V. PENUTUP
Demikian
makalah ini saya buat. Adapun dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan
yang masih perlu saya sempurnakan. Untuk itu kritik dan saran sangat saya
harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan saya ucapan terima kasih atas segala
partisipasinya, semoga bermanfa’at. Amin.
[1] Muhammad bin A.W.
Al-‘Aqil, Manhaj ‘Aqiqah Imam
Asy-Syafi’I, cet.5, (Jakarta :
Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2009), hlm. 279
[2] Zainuddin, Ilmu
Tauhid Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 17
[3] Kenyataan yang
diterima sebagai kebenaran tanpa perlu dibuktikan lagi
[4] Muhammad bin A.W.
Al-‘Aqil, Op.cit, hlm. 367
[5] Zainuddin, Op.cit,
hlm. 20
[6] Muhammad bin A.W.
Al-‘Aqil, Op.cit, hlm. 279
[7] Zainuddin, Op.cit,
hlm. 18
[9] Zainuddin, Op.cit,
hlm. 22
[10] Muhammad bin A.W.
Al-‘Aqil, Op.cit, hlm. 397-398
[11] Harun Nasution, Muhammad
Abduh Dan Teologi Rasional Mu’tazilah,
(jakarta : universitas indonesia (UI Press), 1987), hlm.
71
[12] Umar Al-Asyqar, Belajar Tentang Allah, (Jatiwaringin: Sahara intisains, 2008), hlm. 106-107
[13] Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1980), hlm. 95-97
Tidak ada komentar:
Posting Komentar