Jumat, 11 Mei 2012

Nasikh Wa Mansukh


I.     PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya kepada kita semua, Sehingga kita dapat belajar Ulumul Qur’qn. Kemudian shalawat serta salam kita curahkan kepada nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita semua kejalan yang lurus.
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi menurut kejadian dan peristiwa. Pengangsuran ini sesuai dengan perkembangan adat kebiasaan dan tradisi masyarakat. Yaitu mengambil langkah perlahan-lahan satu demi satu sesuai dengan pendirian bahwa “perlahan-lahan yang teratur lebih baik dari pada cepat-cepat yang kacau balau”. Memperhatikan marhalah-marhalah yang beriringan tentang turunnya ayat-ayat makiyah dan madinah, nyatalah bahwa kita memerlukan suatu ilmu yang menyoroti langkah-langkah itu dan menolong kita dalam meneliti satu persatuannya dengan sehalus mungkin, yaitu “ilmu nasikh wa mansukh” yang dapat dipandang sebagai suatu cara pengangsuran didalam turunnya wahyu.
Pengetahuan ini memudahkan kita menentukan mana yang dahulu dan mana yang kemudian dari peristiwa-peristiwa yang telah diterangkan al-qur’an dan memperlihatkan kepada kita, bahkan menerangkan kepada kita bahwasanya al-qur’an adalah datang dari Allah. Karena Allah lah yang menghapus mana yang dikehendaki dan menetapkan mana yang dikehendaki tanpa seorang pun yang turut campur.
II.  RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian Nasikh wa Mansukh
2. Syarat-Syarat Naskh
3. Perbedaan Antara Nasakh Dan Taksis
4. Klasifikasi Nasakh
5. Macam-Macam Naskh Dalam Al-Qur’an.

III.             PEMBAHASAN
1.    Pengertian Nasikh wa Mansukh
Menurut bahasa nask memiliki dua arti yaitu: hilangkan dan hapuskan (izalah atau nasakha-yansakhu-naskhan). Misalnya, nasakhatis syamsu dzilla yang artinya: matahari menghilangkan bayang-bayang, dan wanasakhatir riihu atsara masyyi yang berarti: angin menghapus jejak perjalanan. Kata naskh juga digunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari satu tempat ketempat yang lain. Missal: nasakhtu al-kitab artinya: saya memindahkan (menyalin) apa yang ada dalam buku.[1]
Sedangkan menurut istilah yaitu mengangkatkan hokum syara’ dengan perintah atau kitab Allah yang datang kemudian dari padanya.
Mansukh adalah hukum yang diangkat atau yang dihapuskan sebelumnya.

2.    Syarat-Syarat Naskh
Dari uraian diatas bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat berikut:
a.       Hukum yang mansuk adalah hukum syara’.
b.      Dalil penghapusan hukum tersebt adalah kitab syar’i yang dating lebih kemudian dari kitab yang hukumnya mansukh.
c.       Kitab yang mansukh hukumnya tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu.
Sebab jika tidak demikian maka hokum akan berakir dengan berakirnra waktu tersebut. Misalny dalam firman Allah SWT,
فاعفوا واصفحوا حتى ياء تي الله بامره
“maka maafkanlah, dan biarkanlah sampai Allah mendatangkan perintahnya”.(al-Baqarah: 109). 

Ayat diatas adalah muhkam tidak mansukh, sebab itu dikaitkan dengan batas waktu, sedang apa yang berkaitan dengan batas waktu tidak ada naskh didalamnya.[2]
            Apa yang terdapat pada naskh:
1.      Naskh terdapat pada perintah dan larangan.
2.      Naskh tidak terdapat pada ahlak dan adap yang didorong islam adanya.
3.      Tidak terjadi pada akidah
a.       Zdat-Nya
b.      Sifat-sifatnya
c.       Hari akhir
d.      Tidak pula mengenai khabar sharih (yang nyata dan jelas) umpamanya mengenai:
-          Janji baik Allah SWT bagi orang bertakwa masuk surga
-          Janji jahat Allah SWT bagi orang yang mati kafir atau musyrik masuk neraka.
e.       Tidak terjadi mengenai ibadah dasar dan ilmu mu’amalat, karna semua agama tidak lepas dari dasar ini.[3]

3.      Perbedaan Antara Nasakh Dan Taksis
Ada beerapa perbedaan yaitu:
1.      Takshis ialah membatasi jumlah afradul amm, sedangkan naskh adalah membatalkan hukum yang telah ada dan diganti dengan hukum yang baru.
2.      Taksish bisa dengan kata-kata al-qur’an dan hadis dengan dalil-dalil syara’ yang lain seperti ijmak dan qiyas juga dengan dalil akal, sedangkan naskh hanya dengan kata-kata saja.
3.      Taksish hanya masuk kepada dalil amm, sedangkan nasakh bisa masuk kepada dalil amm maupun khash.
4.      Taksis hanya masuk kepada hukum saja, sedangkan nasakh dapat masuk kepada hokum dan membatalkan berita-berita dusta.[4]

4.      Klasifikasi Nasakh
Nasakh diklasifikasikan sebagai berikut:
1.      Nasakh al-qur’an dengan al-qur’an.
Bagaimana ini telah kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya: penghapusan menghadap ke baitul makdis (dalam shalat) dengan menghadap ke ka’bah, dalam frman Allah:
فول وجهك شطر المسجد الحرم
“maka palingkanlah mukamu emasjidil haram”
2.      Nasakh al-qur’an dengan as-sunnah, meliputi:
a.       Nasakh al-qur’an dengan hadis ahad
Jumhur berpendapat tidak boleh, sebab al-qur’an mutawatir sedangkan hadis ahad zanni (dugaan).
b.      Nasakh al-qur’an dengan hadis mutawatir
Nasakh yang demikian  ini dibolehkan, diantaranya oleh imam Malik, Abu Hanafiyah dan Imam Ahmad dalam satu riwayat.
3.      Nasakh sunnah dengan al-qur’an.
Misalnya tentang kewajiban puasa pada hari as-syura yang ditetapkan berdasarkan sunah juga dinasakh firman Allah:
فمن شهد منكم الشهر فليصمه

“maka barang siapa menyaksikan bulan Ramadan hendaklah ia berpuasa”.(al-Baqarah: 185)

Ini dibolehkan oleh para jumhur, tapi pendapat ini ditolak Imam Syafi’I dalam salah satu riwayat, menurutnya apa saja yang ditetapkan as-sunnah tentu didukung oleh al-qur’an dan apa saja yang ditetapkan oleh al-qur’an tentu didukung pula oleh as-sunnah. Hal ini karena antara al-qur’an dengan as-sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.
4.      Nasakh sunnah dengan sunnah
Nasakh seperti ini ada empat kategori, yaitu:
a.       Nasakh mutawatir dengan mutawatir
b.      Nasakh ahad dengan ahad
c.       Nasakh ahad dengan mutawatir
d.      Nasakh mutawatir dengan ahad
Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedangkan pada bentuk ke empat dengan terjadisilang pendapat seperti halnya nasakh pada qur’an dengan hadis ahad yang tidak dibolehkan oleh para jumhur.[5]
5.      Macam-Macam Naskh Dalam Al-Qur’an.
Macam-macam naskh dalam qur’an antara lain:
a.       Naskh tilawah dan hukum
Misalnya apa yang telah diriwayatkan oleh Muslim dengan yang lain, dari Aisyah, ia berkata:
كانا فيما انزل عشر رضعات معلومات يحرمن فنسخن بخمس معلومات فتوفي
 رسول الله صلى الله عليه وسلم (وهن مما يقراء من القراءن)
Diantara yang diturunkan kepada beliau adalah sepuluh susuan yang maklum itu menyebabkan muhrim, kemudian (ketentuan) ini dinasakh oleh lima susuan yang maklum. Maka ketika rasul wafat lima susuan ini termasuk ayat qur’an yang dibaca.

Kata-kata aisyah, lima susuan ini termasuk ayat qur’an yang dibaca. Pada lahirnya menunjukan bahwa tilawahnya masih tetap, tetapi tidak demikian halnya karna ia tidak terdapat dalam mushaf usmani. Yang jelas bahwa tilawahnya itu telah dinasakh, tetapi penghapusan ini tidak sampai ada semua orang kecuai sesudah rasul wafat. Oleh karena itu ketika beliau wafat sebagian orang masih tetap membacanya.
b.      Naskh hukum sedang tilawahnya tetap
Misalnya naskh hukum ayat idah selama satu tahun sedang tilawahnya tetap, mengenai kitap ini banyak dikarang kitap-kitap yang didalamnya para pengarang menyebutkan bermacam-macam ayat, padahal setelah diteliti, ayat-ayat seperti itu hanya sedikit jumlahnya.
Dalam hal ini mungkin pertanyaan, apakah hikmah penghapusan hukum sedang tilawahnya tetap, diantaranya yaitu:
-          Qur’an disamping dibaca untuk diketahui dan diamalkan hukumnya, juga karena ia dibaca karena ia adalah kalamullah yang merupakan pahaa bagi yang membacanya.
-          Pada umumnya naskh itu adalah untuk meringankan, maka ditetapkanlah naskh untuk mengingatkan akan hikmah akan dihapuskannya kesulitan.
c.       Naskh tilawah sedang hukumnya tetap
Diantaranya yaitu apa yang diriwayatkan dalam as-shahihain, dari anas tentang kisah orang-orang yang dibunuh dekat sumur ma’unah, sehingga Allah berqunut untuk mendoakan para pembunuh mereka. Anas mengatakan: “dan berkenaan dengan mereka turunlah ayat al-qur’an yang kami baca sampai ia diangkat kembali, yaitu:
ان بلغوا عنا فومنا انا لقينا ربنا فرضي عنا وارضانا
“sampaikanlah dari kami kepada kaum kami bahwa kami telah bertemu tuhan kami, maka ia ridha kepada kami dan menyenangkan kami”. Ayat ini kemudian dinasakh tilawahnya.[6]

6.      Tahkik Terhadap Perbedaan Pendapat Tentang Adanya Ayat Al-Qur’an Yang Masukh
Baik menurut akal maupun riwayat mansukh dapat terjadi, pendapat ini sudah disepakati oleh ulama usul.
a.       Imam Fakhrurazi berkata: “nasakh bagi kita dapat terwujud secara akal” dan riwayat berbeda dengan yahudi, sebab diantara mereka ada yang mengingkarinya dan ada yang boleh.
b.      Imam Abu Muslim al-Ashahani mengingkari adanya naskh didalam al-qur’an, beliau beralasan dengan firman Allah: “yag tidak datang kepadanya (al-qur’an) kebatilan baik dari depan maupun belakangnya, yang diturunkan dari tuhan yang maha bijaksana lagi maha terpuji”.
c.       Mayoritas ulama islam sepakat adanya nasakh mereka beralasan bahwasanya dalil-dalil yang menunjukan atas kenabian nabi SAW. Dan kenabian nabi-nabi sebelumnya. Sehingga dengan demikian nasakh tetap wajib adanya.
Nasakh memang terjadi pada umat yang dahulu, termasuk syari’at kaum yahudi. Misalnya tersebut dalam kitab taurat bahwasanya nabi adam as membolehkan perkawinan antara putrinya dengan putranya sendiri. Masalah ini telah di haramkan berlakunya bagi kita sekarang ini sangat mutlak.[7]

IV.             KESIMPULAN
·         Naskh secara bahasa memiliki dua arti yaitu: hilangkan dan hapuskan (izalah atau nasakha-yansakhu-naskhan).
·         Nasakh menurut istilah yaitu mengangkatkan hukum syara’ dengan perintah atau kitab Allah yang datang kemudian dari padanya.
·         Mansukh adalah hokum yang diangkat atau yang dihapuskan sebelumnya.
·         Dari makalah diatas, ternyata hukum naskh terdapat banyak perbedaan pendapat diantara tokoh-tokoh ulama’.

V.  PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat. Adapun dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan yang masih perlu kami sempurnakan. Untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan kami ucapan terima kasih atas segala partisipasinya, semoga bermanfa’at. Amin.