I.
PENDAHULUAN
Segala puji
bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya kepada kita semua, Sehingga
kita dapat belajar Ulumul Qur’qn. Kemudian shalawat serta salam kita curahkan
kepada nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita semua kejalan yang lurus.
Al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi menurut kejadian dan peristiwa.
Pengangsuran ini sesuai dengan perkembangan adat kebiasaan dan tradisi
masyarakat. Yaitu mengambil langkah perlahan-lahan satu demi satu sesuai dengan
pendirian bahwa “perlahan-lahan yang teratur lebih baik dari pada cepat-cepat
yang kacau balau”. Memperhatikan marhalah-marhalah yang beriringan tentang
turunnya ayat-ayat makiyah dan madinah, nyatalah bahwa kita
memerlukan suatu ilmu yang menyoroti langkah-langkah itu dan menolong kita
dalam meneliti satu persatuannya dengan sehalus mungkin, yaitu “ilmu nasikh
wa mansukh” yang dapat dipandang sebagai suatu cara pengangsuran didalam
turunnya wahyu.
Pengetahuan
ini memudahkan kita menentukan mana yang dahulu dan mana yang kemudian dari
peristiwa-peristiwa yang telah diterangkan al-qur’an dan memperlihatkan kepada
kita, bahkan menerangkan kepada kita bahwasanya al-qur’an adalah datang dari
Allah. Karena Allah lah yang menghapus mana yang dikehendaki dan menetapkan
mana yang dikehendaki tanpa seorang pun yang turut campur.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian Nasikh wa Mansukh
2.
Syarat-Syarat Naskh
3.
Perbedaan Antara Nasakh Dan Taksis
4.
Klasifikasi Nasakh
5.
Macam-Macam Naskh Dalam Al-Qur’an.
III.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Nasikh wa Mansukh
Menurut bahasa nask memiliki dua arti yaitu: hilangkan dan hapuskan
(izalah atau nasakha-yansakhu-naskhan). Misalnya, nasakhatis syamsu
dzilla yang artinya: matahari menghilangkan bayang-bayang, dan wanasakhatir
riihu atsara masyyi yang berarti: angin menghapus jejak perjalanan. Kata
naskh juga digunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari satu tempat ketempat
yang lain. Missal: nasakhtu al-kitab artinya: saya memindahkan
(menyalin) apa yang ada dalam buku.[1]
Sedangkan menurut istilah yaitu mengangkatkan hokum syara’ dengan
perintah atau kitab Allah yang datang kemudian dari padanya.
Mansukh
adalah hukum yang diangkat atau yang dihapuskan sebelumnya.
2.
Syarat-Syarat Naskh
Dari
uraian diatas bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat berikut:
a.
Hukum yang mansuk adalah hukum syara’.
b.
Dalil penghapusan hukum tersebt adalah kitab syar’i yang
dating lebih kemudian dari kitab yang hukumnya mansukh.
c.
Kitab yang mansukh hukumnya tidak terikat atau dibatasi
dengan waktu tertentu.
Sebab
jika tidak demikian maka hokum akan berakir dengan berakirnra waktu tersebut.
Misalny dalam firman Allah SWT,
فاعفوا واصفحوا حتى ياء تي الله بامره
“maka maafkanlah, dan biarkanlah sampai Allah
mendatangkan perintahnya”.(al-Baqarah: 109).
Ayat diatas adalah muhkam tidak mansukh, sebab itu
dikaitkan dengan batas waktu, sedang apa yang berkaitan dengan batas waktu
tidak ada naskh didalamnya.[2]
Apa yang terdapat
pada naskh:
1.
Naskh terdapat pada perintah dan larangan.
2.
Naskh
tidak terdapat pada ahlak dan adap yang didorong islam adanya.
3.
Tidak terjadi pada akidah
a.
Zdat-Nya
b.
Sifat-sifatnya
c.
Hari akhir
d.
Tidak pula mengenai khabar sharih (yang nyata dan jelas)
umpamanya mengenai:
-
Janji baik Allah SWT bagi orang bertakwa masuk surga
-
Janji jahat Allah SWT bagi orang yang mati kafir atau musyrik masuk
neraka.
e.
Tidak terjadi mengenai ibadah dasar dan ilmu mu’amalat, karna semua
agama tidak lepas dari dasar ini.[3]
3.
Perbedaan Antara Nasakh Dan Taksis
Ada beerapa perbedaan yaitu:
1.
Takshis
ialah membatasi jumlah afradul amm, sedangkan naskh adalah
membatalkan hukum yang telah ada dan diganti dengan hukum yang baru.
2.
Taksish
bisa dengan kata-kata al-qur’an dan hadis dengan dalil-dalil syara’ yang
lain seperti ijmak dan qiyas juga dengan dalil akal, sedangkan naskh
hanya dengan kata-kata saja.
3.
Taksish
hanya masuk kepada dalil amm, sedangkan nasakh bisa masuk kepada
dalil amm maupun khash.
4.
Taksis
hanya masuk kepada hukum saja, sedangkan nasakh dapat masuk kepada hokum dan
membatalkan berita-berita dusta.[4]
4.
Klasifikasi Nasakh
Nasakh
diklasifikasikan sebagai berikut:
1.
Nasakh al-qur’an dengan al-qur’an.
Bagaimana ini telah kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan
mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya: penghapusan menghadap ke baitul
makdis (dalam shalat) dengan menghadap ke ka’bah, dalam frman Allah:
فول وجهك شطر المسجد الحرم
“maka palingkanlah mukamu emasjidil haram”
2.
Nasakh al-qur’an dengan as-sunnah, meliputi:
a.
Nasakh
al-qur’an dengan hadis ahad
Jumhur
berpendapat tidak boleh, sebab al-qur’an mutawatir sedangkan hadis ahad zanni
(dugaan).
b.
Nasakh al-qur’an dengan hadis mutawatir
Nasakh yang demikian ini
dibolehkan, diantaranya oleh imam Malik, Abu Hanafiyah dan Imam Ahmad dalam
satu riwayat.
3.
Nasakh sunnah dengan al-qur’an.
Misalnya
tentang kewajiban puasa pada hari as-syura yang ditetapkan berdasarkan
sunah juga dinasakh firman Allah:
فمن شهد منكم الشهر فليصمه
“maka
barang siapa menyaksikan bulan Ramadan hendaklah ia berpuasa”.(al-Baqarah: 185)
Ini dibolehkan oleh para jumhur, tapi pendapat ini ditolak Imam Syafi’I
dalam salah satu riwayat, menurutnya apa saja yang ditetapkan as-sunnah tentu
didukung oleh al-qur’an dan apa saja yang ditetapkan oleh al-qur’an tentu
didukung pula oleh as-sunnah. Hal ini karena antara al-qur’an dengan as-sunnah
harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.
4.
Nasakh sunnah dengan sunnah
Nasakh
seperti ini ada
empat kategori, yaitu:
a.
Nasakh mutawatir
dengan mutawatir
b.
Nasakh ahad
dengan ahad
c.
Nasakh ahad
dengan mutawatir
d.
Nasakh mutawatir
dengan ahad
Tiga bentuk
pertama dibolehkan, sedangkan pada bentuk ke empat dengan terjadisilang
pendapat seperti halnya nasakh pada qur’an dengan hadis ahad yang tidak
dibolehkan oleh para jumhur.[5]
5.
Macam-Macam Naskh Dalam Al-Qur’an.
Macam-macam naskh dalam qur’an antara lain:
a.
Naskh tilawah dan hukum
Misalnya
apa yang telah diriwayatkan oleh Muslim dengan yang lain, dari Aisyah, ia
berkata:
كانا فيما انزل عشر رضعات معلومات يحرمن فنسخن بخمس معلومات فتوفي
رسول الله صلى الله عليه وسلم
(وهن مما يقراء من القراءن)
Diantara yang
diturunkan kepada beliau adalah sepuluh susuan yang maklum itu
menyebabkan muhrim, kemudian (ketentuan) ini dinasakh oleh lima
susuan yang maklum. Maka ketika rasul wafat lima susuan ini termasuk
ayat qur’an yang dibaca.
Kata-kata aisyah, lima susuan ini termasuk ayat qur’an yang dibaca.
Pada lahirnya menunjukan bahwa tilawahnya masih tetap, tetapi tidak demikian
halnya karna ia tidak terdapat dalam mushaf usmani. Yang jelas bahwa
tilawahnya itu telah dinasakh, tetapi penghapusan ini tidak sampai ada
semua orang kecuai sesudah rasul wafat. Oleh karena itu ketika beliau wafat
sebagian orang masih tetap membacanya.
b.
Naskh hukum sedang tilawahnya tetap
Misalnya naskh hukum ayat idah selama satu tahun sedang
tilawahnya tetap, mengenai kitap ini banyak dikarang kitap-kitap yang
didalamnya para pengarang menyebutkan bermacam-macam ayat, padahal setelah
diteliti, ayat-ayat seperti itu hanya sedikit jumlahnya.
Dalam
hal ini mungkin pertanyaan, apakah hikmah penghapusan hukum sedang tilawahnya
tetap, diantaranya yaitu:
-
Qur’an disamping dibaca untuk diketahui dan diamalkan hukumnya,
juga karena ia dibaca karena ia adalah kalamullah yang merupakan pahaa bagi
yang membacanya.
-
Pada umumnya naskh itu adalah untuk meringankan, maka
ditetapkanlah naskh untuk mengingatkan akan hikmah akan dihapuskannya
kesulitan.
c.
Naskh tilawah sedang hukumnya tetap
Diantaranya yaitu apa yang diriwayatkan dalam as-shahihain, dari
anas tentang kisah orang-orang yang dibunuh dekat sumur ma’unah, sehingga Allah
berqunut untuk mendoakan para pembunuh mereka. Anas mengatakan: “dan berkenaan
dengan mereka turunlah ayat al-qur’an yang kami baca sampai ia diangkat
kembali, yaitu:
ان بلغوا عنا فومنا انا لقينا ربنا فرضي عنا وارضانا
“sampaikanlah
dari kami kepada kaum kami bahwa kami telah bertemu tuhan kami, maka ia ridha
kepada kami dan menyenangkan kami”. Ayat ini kemudian dinasakh tilawahnya.[6]
6.
Tahkik Terhadap Perbedaan Pendapat Tentang Adanya Ayat Al-Qur’an
Yang Masukh
Baik menurut
akal maupun riwayat mansukh dapat terjadi, pendapat ini sudah disepakati
oleh ulama usul.
a.
Imam Fakhrurazi berkata: “nasakh bagi kita dapat terwujud secara
akal” dan riwayat berbeda dengan yahudi, sebab diantara mereka ada yang
mengingkarinya dan ada yang boleh.
b.
Imam Abu Muslim al-Ashahani mengingkari adanya naskh didalam
al-qur’an, beliau beralasan dengan firman Allah: “yag tidak datang kepadanya
(al-qur’an) kebatilan baik dari depan maupun belakangnya, yang diturunkan dari
tuhan yang maha bijaksana lagi maha terpuji”.
c.
Mayoritas ulama islam sepakat adanya nasakh mereka beralasan
bahwasanya dalil-dalil yang menunjukan atas kenabian nabi SAW. Dan kenabian
nabi-nabi sebelumnya. Sehingga dengan demikian nasakh tetap wajib
adanya.
Nasakh
memang terjadi pada umat yang dahulu, termasuk syari’at kaum yahudi.
Misalnya tersebut dalam kitab taurat bahwasanya nabi adam as membolehkan
perkawinan antara putrinya dengan putranya sendiri. Masalah ini telah di
haramkan berlakunya bagi kita sekarang ini sangat mutlak.[7]
IV.
KESIMPULAN
·
Naskh
secara bahasa memiliki dua arti yaitu: hilangkan dan hapuskan (izalah atau
nasakha-yansakhu-naskhan).
·
Nasakh
menurut istilah yaitu mengangkatkan hukum syara’ dengan perintah atau kitab
Allah yang datang kemudian dari padanya.
·
Mansukh adalah hokum yang diangkat atau yang dihapuskan sebelumnya.
·
Dari makalah diatas, ternyata hukum naskh terdapat banyak perbedaan
pendapat diantara tokoh-tokoh ulama’.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah ini kami buat. Adapun dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan yang masih perlu kami sempurnakan. Untuk itu kritik dan saran sangat
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan kami ucapan terima kasih atas
segala partisipasinya, semoga bermanfa’at. Amin.