Senin, 16 April 2012

Nasikh wa Mansukh


I.     PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya kepada kita semua, Sehingga kita dapat belajar Ulumul Qur’qn. Kemudian shalawat serta salam kita curahkan kepada nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita semua kejalan yang lurus.
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi menurut kejadian dan peristiwa. Pengangsuran ini sesuai dengan perkembangan adat kebiasaan dan tradisi masyarakat. Yaitu mengambil langkah perlahan-lahan satu demi satu sesuai dengan pendirian bahwa “perlahan-lahan yang teratur lebih baik dari pada cepat-cepat yang kacau balau”. Memperhatikan marhalah-marhalah yang beriringan tentang turunnya ayat-ayat makiyah dan madinah, nyatalah bahwa kita memerlukan suatu ilmu yang menyoroti langkah-langkah itu dan menolong kita dalam meneliti satu persatuannya dengan sehalus mungkin, yaitu “ilmu nasikh wa mansukh” yang dapat dipandang sebagai suatu cara pengangsuran didalam turunnya wahyu.
Pengetahuan ini memudahkan kita menentukan mana yang dahulu dan mana yang kemudian dari peristiwa-peristiwa yang telah diterangkan al-qur’an dan memperlihatkan kepada kita, bahkan menerangkan kepada kita bahwasanya al-qur’an adalah datang dari Allah. Karena Allah lah yang menghapus mana yang dikehendaki dan menetapkan mana yang dikehendaki tanpa seorang pun yang turut campur.
II.  RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian Nasikh wa Mansukh
2. Syarat-Syarat Naskh
3. Perbedaan Antara Nasakh Dan Taksis
4. Klasifikasi Nasakh
5. Macam-Macam Naskh Dalam Al-Qur’an.

III.             PEMBAHASAN
1.    Pengertian Nasikh wa Mansukh
Menurut bahasa nask memiliki dua arti yaitu: hilangkan dan hapuskan (izalah atau nasakha-yansakhu-naskhan). Misalnya, nasakhatis syamsu dzilla yang artinya: matahari menghilangkan bayang-bayang, dan wanasakhatir riihu atsara masyyi yang berarti: angin menghapus jejak perjalanan. Kata naskh juga digunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari satu tempat ketempat yang lain. Missal: nasakhtu al-kitab artinya: saya memindahkan (menyalin) apa yang ada dalam buku.[1]
Sedangkan menurut istilah yaitu mengangkatkan hokum syara’ dengan perintah atau kitab Allah yang datang kemudian dari padanya.
Mansukh adalah hukum yang diangkat atau yang dihapuskan sebelumnya.

2.    Syarat-Syarat Naskh
Dari uraian diatas bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat berikut:
a.       Hukum yang mansuk adalah hukum syara’.
b.      Dalil penghapusan hukum tersebt adalah kitab syar’i yang dating lebih kemudian dari kitab yang hukumnya mansukh.
c.       Kitab yang mansukh hukumnya tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu.
Sebab jika tidak demikian maka hokum akan berakir dengan berakirnra waktu tersebut. Misalny dalam firman Allah SWT,
فاعفوا واصفحوا حتى ياء تي الله بامره
“maka maafkanlah, dan biarkanlah sampai Allah mendatangkan perintahnya”.(al-Baqarah: 109). 

Ayat diatas adalah muhkam tidak mansukh, sebab itu dikaitkan dengan batas waktu, sedang apa yang berkaitan dengan batas waktu tidak ada naskh didalamnya.[2]
            Apa yang terdapat pada naskh:
1.      Naskh terdapat pada perintah dan larangan.
2.      Naskh tidak terdapat pada ahlak dan adap yang didorong islam adanya.
3.      Tidak terjadi pada akidah
a.       Zdat-Nya
b.      Sifat-sifatnya
c.       Hari akhir
d.      Tidak pula mengenai khabar sharih (yang nyata dan jelas) umpamanya mengenai:
-          Janji baik Allah SWT bagi orang bertakwa masuk surga
-          Janji jahat Allah SWT bagi orang yang mati kafir atau musyrik masuk neraka.
e.       Tidak terjadi mengenai ibadah dasar dan ilmu mu’amalat, karna semua agama tidak lepas dari dasar ini.[3]

3.      Perbedaan Antara Nasakh Dan Taksis
Ada beerapa perbedaan yaitu:
1.      Takshis ialah membatasi jumlah afradul amm, sedangkan naskh adalah membatalkan hukum yang telah ada dan diganti dengan hukum yang baru.
2.      Taksish bisa dengan kata-kata al-qur’an dan hadis dengan dalil-dalil syara’ yang lain seperti ijmak dan qiyas juga dengan dalil akal, sedangkan naskh hanya dengan kata-kata saja.
3.      Taksish hanya masuk kepada dalil amm, sedangkan nasakh bisa masuk kepada dalil amm maupun khash.
4.      Taksis hanya masuk kepada hukum saja, sedangkan nasakh dapat masuk kepada hokum dan membatalkan berita-berita dusta.[4]

4.      Klasifikasi Nasakh
Nasakh diklasifikasikan sebagai berikut:
1.      Nasakh al-qur’an dengan al-qur’an.
Bagaimana ini telah kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya: penghapusan menghadap ke baitul makdis (dalam shalat) dengan menghadap ke ka’bah, dalam frman Allah:
فول وجهك شطر المسجد الحرم
“maka palingkanlah mukamu emasjidil haram”
2.      Nasakh al-qur’an dengan as-sunnah, meliputi:
a.       Nasakh al-qur’an dengan hadis ahad
Jumhur berpendapat tidak boleh, sebab al-qur’an mutawatir sedangkan hadis ahad zanni (dugaan).
b.      Nasakh al-qur’an dengan hadis mutawatir
Nasakh yang demikian  ini dibolehkan, diantaranya oleh imam Malik, Abu Hanafiyah dan Imam Ahmad dalam satu riwayat.
3.      Nasakh sunnah dengan al-qur’an.
Misalnya tentang kewajiban puasa pada hari as-syura yang ditetapkan berdasarkan sunah juga dinasakh firman Allah:
فمن شهد منكم الشهر فليصمه

“maka barang siapa menyaksikan bulan Ramadan hendaklah ia berpuasa”.(al-Baqarah: 185)

Ini dibolehkan oleh para jumhur, tapi pendapat ini ditolak Imam Syafi’I dalam salah satu riwayat, menurutnya apa saja yang ditetapkan as-sunnah tentu didukung oleh al-qur’an dan apa saja yang ditetapkan oleh al-qur’an tentu didukung pula oleh as-sunnah. Hal ini karena antara al-qur’an dengan as-sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.
4.      Nasakh sunnah dengan sunnah
Nasakh seperti ini ada empat kategori, yaitu:
a.       Nasakh mutawatir dengan mutawatir
b.      Nasakh ahad dengan ahad
c.       Nasakh ahad dengan mutawatir
d.      Nasakh mutawatir dengan ahad
Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedangkan pada bentuk ke empat dengan terjadisilang pendapat seperti halnya nasakh pada qur’an dengan hadis ahad yang tidak dibolehkan oleh para jumhur.[5]
5.      Macam-Macam Naskh Dalam Al-Qur’an.
Macam-macam naskh dalam qur’an antara lain:
a.       Naskh tilawah dan hukum
Misalnya apa yang telah diriwayatkan oleh Muslim dengan yang lain, dari Aisyah, ia berkata:
كانا فيما انزل عشر رضعات معلومات يحرمن فنسخن بخمس معلومات فتوفي
 رسول الله صلى الله عليه وسلم (وهن مما يقراء من القراءن)
Diantara yang diturunkan kepada beliau adalah sepuluh susuan yang maklum itu menyebabkan muhrim, kemudian (ketentuan) ini dinasakh oleh lima susuan yang maklum. Maka ketika rasul wafat lima susuan ini termasuk ayat qur’an yang dibaca.

Kata-kata aisyah, lima susuan ini termasuk ayat qur’an yang dibaca. Pada lahirnya menunjukan bahwa tilawahnya masih tetap, tetapi tidak demikian halnya karna ia tidak terdapat dalam mushaf usmani. Yang jelas bahwa tilawahnya itu telah dinasakh, tetapi penghapusan ini tidak sampai ada semua orang kecuai sesudah rasul wafat. Oleh karena itu ketika beliau wafat sebagian orang masih tetap membacanya.
b.      Naskh hukum sedang tilawahnya tetap
Misalnya naskh hukum ayat idah selama satu tahun sedang tilawahnya tetap, mengenai kitap ini banyak dikarang kitap-kitap yang didalamnya para pengarang menyebutkan bermacam-macam ayat, padahal setelah diteliti, ayat-ayat seperti itu hanya sedikit jumlahnya.
Dalam hal ini mungkin pertanyaan, apakah hikmah penghapusan hukum sedang tilawahnya tetap, diantaranya yaitu:
-          Qur’an disamping dibaca untuk diketahui dan diamalkan hukumnya, juga karena ia dibaca karena ia adalah kalamullah yang merupakan pahaa bagi yang membacanya.
-          Pada umumnya naskh itu adalah untuk meringankan, maka ditetapkanlah naskh untuk mengingatkan akan hikmah akan dihapuskannya kesulitan.
c.       Naskh tilawah sedang hukumnya tetap
Diantaranya yaitu apa yang diriwayatkan dalam as-shahihain, dari anas tentang kisah orang-orang yang dibunuh dekat sumur ma’unah, sehingga Allah berqunut untuk mendoakan para pembunuh mereka. Anas mengatakan: “dan berkenaan dengan mereka turunlah ayat al-qur’an yang kami baca sampai ia diangkat kembali, yaitu:
ان بلغوا عنا فومنا انا لقينا ربنا فرضي عنا وارضانا
“sampaikanlah dari kami kepada kaum kami bahwa kami telah bertemu tuhan kami, maka ia ridha kepada kami dan menyenangkan kami”. Ayat ini kemudian dinasakh tilawahnya.[6]

6.      Tahkik Terhadap Perbedaan Pendapat Tentang Adanya Ayat Al-Qur’an Yang Masukh
Baik menurut akal maupun riwayat mansukh dapat terjadi, pendapat ini sudah disepakati oleh ulama usul.
a.       Imam Fakhrurazi berkata: “nasakh bagi kita dapat terwujud secara akal” dan riwayat berbeda dengan yahudi, sebab diantara mereka ada yang mengingkarinya dan ada yang boleh.
b.      Imam Abu Muslim al-Ashahani mengingkari adanya naskh didalam al-qur’an, beliau beralasan dengan firman Allah: “yag tidak datang kepadanya (al-qur’an) kebatilan baik dari depan maupun belakangnya, yang diturunkan dari tuhan yang maha bijaksana lagi maha terpuji”.
c.       Mayoritas ulama islam sepakat adanya nasakh mereka beralasan bahwasanya dalil-dalil yang menunjukan atas kenabian nabi SAW. Dan kenabian nabi-nabi sebelumnya. Sehingga dengan demikian nasakh tetap wajib adanya.
Nasakh memang terjadi pada umat yang dahulu, termasuk syari’at kaum yahudi. Misalnya tersebut dalam kitab taurat bahwasanya nabi adam as membolehkan perkawinan antara putrinya dengan putranya sendiri. Masalah ini telah di haramkan berlakunya bagi kita sekarang ini sangat mutlak.[7]

IV.             KESIMPULAN
·         Naskh secara bahasa memiliki dua arti yaitu: hilangkan dan hapuskan (izalah atau nasakha-yansakhu-naskhan).
·         Nasakh menurut istilah yaitu mengangkatkan hukum syara’ dengan perintah atau kitab Allah yang datang kemudian dari padanya.
·         Mansukh adalah hokum yang diangkat atau yang dihapuskan sebelumnya.
·         Dari makalah diatas, ternyata hukum naskh terdapat banyak perbedaan pendapat diantara tokoh-tokoh ulama’.

V.  PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat. Adapun dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan yang masih perlu kami sempurnakan. Untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan kami ucapan terima kasih atas segala partisipasinya, semoga bermanfa’at. Amin.



[1] Manna’ Khalil al-Khattan, study ilmu-ilmu qur’an, (Jakarta: Pustaka litera Antar Nusa, 2007), hlm. 326
[2] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofii, Ulum al-Qur’an I, (Bandung: pustaka setia, 2000), hlm. 158.
[3] Kahar Mansyur, pokok-pokok ulumul qur,an,(Jakarta: Rineka cipta, 1992), hlm. 33.
[4] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofii, Op. Cit, hlm. 162
[5] Manna’ Khalil al-Khattan, Op. Cit, hlm. 334-336
[6] Ibid, hlm. 336-338
[7] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofii, Op. Cit, hlm.165

Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Asma wa Sifat


I.          PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya kepada kita semua. Sehingga kita dapat belajar Ilmu Tauhid. Shalawat serta salam kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita menuju jalan yang lurus.
 Ilmu Tauhid merupakan ilmu yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan tuhan Rabbul ‘Alamin. Oleh karna itu, Ilmu Tauhid sangatlah penting dipelajari secara seksama.

II.       RUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan tema yang telah saya terima sebagai materi makalah yaitu pembagian Ilmu Tauhid, yang meliputi:
1.                            Tauhid Rububiyah
2.                            Tauhid Uluhiyah
3.                            Asma wa Sifat

III.    PEMBAHASAN
1.                Tauhid Rububiyah
Kata at-tauhid berasal dari kata wahhada, yuwahhidu, tauhidan. Kata wahhada memiliki makna kesendirian sesuatu dengan dzat, sifat atau af’alnya dan tidak adanya sesuatu yang menyerupainya dan menyertainya dalam hal kesendiriannya.[1]
Tauhid rububiyah ialah suatu kepercayaan bahwa yang menciptakan alam dunia beserta isinya ini hanyalah Allah sendiri tanpa bantuan siapapun. Dunia ini ada yang menjadikan yaitu Allah SWT. Allah maha kuat tiada kekuatan yang menyamai af’al Allah. Maka timbullah kesadararan bagi mahluk untuk mengagungkan Allah. Mahluk harus bertuhan hanya kepada Allah, tidak kepada yang lain. Maka keyakinan inilah yang disebut dengan tauhid rububiyah. Jadi tauhid rububiyah adalah tauhid yang berhubungan dengan ketuhanan.[2]
Sebagaimana telah dikatahui bahwa iman kepada wujud Allah, ke-Esaan, serta rububiyyah-Nya atas seluruh mahluknya merupakan perkara yang memang hati telah tercipta dan jiwa telah terbentuk untuknya, juga telah sepakat atasnya seluruh umat, sebab Allah sangat jelas dan sangat nyata sehingga tidak memerlukan dalil untuk membuktikan wujudnya. Firman Allah SWT:
قا لت رسلهم افى ا لله شك فا طر ا لسموات وا لارض
“Berkata para rasul mereka: ‘Apakah ada keraguan-keraguan terhadap Allah, pencipta langit dan bumi…?”. (QS. Ibrahim: 10).

Oleh karena itu persoalan ini tidak muncul didalam kitab Allah, tetapi dia menjadikannya termasuk perkara-perkara aksiomatis.[3]
Ungkapan serupa digambarkan melalui bait berikut:
وليس يصح ف ا لا ذهان شيء * ا ذاحتاج ا لنصارا لى د ليل
“Tidakkah dapat diterima akal suatupun, apabila adanya siang masih diperlukan bukti”.

Setelah mengutip ucapan Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim berkata: diketahui bahwa adanya Rabb yang maha tinggi lebih jelas bagi penalaran dan fitrah dari pada adanya siang. Siapa yang tidak melihat tanda-tanda itu pada penalaran serta fitrahnya hendaknya ia mencurigai keduanya.[4]
Allah pencipta alam beserta isinya, seperti firman Allah dalam Al-Qur’an:
ذا لكم ا لله ربكم لا ا له الا هو خا لق كل شيء فعبدوه وهو على كل شيء وكيل
Yang memiliki sifat-sifat demikian itu ialah Allah tuhan kamu, tidak ada tuhan selain dia, pencipta segala sesuatu maka sembahlah dia, dialah pemelihara segala sesuatu”. (QS. Al-An’am: 102).

Jadi kata rububiyah meyakini bahwa Allah SWT sebagai tuhan satu-satunya yang menguasai dan mengurus serta mengatur alam semesta. Tauhid rububiyah akan rusak apabila kita mengakui bahwa yang mengurus alam ini ada dua tuhan ataupun lebih. Seperti dipercayai oleh bangsa persi pada zaman dahulu. Adapun Al-Qur’an menetapkan ke-Esaan Allah dalam menjadikan alam (tauhid rububiyah) dengan berbagai dalil dan akal yang logis. Memang Al-Qur’an mengokohkan ke-Esaan Allah sebagaimana Al-Qur’an mengokohkan adanya Allah.[5]
Lebih jelasnya tauhid Rububiyah adalah keyakinan terhadap Allah sebagai tuhan satu-satunya yang menciptakan, menguasai dan mengurus serta mengatur alam semesta. Ini menunjukkan juga bahwa Allah itu Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya.

2.                Tauhid Uluhiyah
Definisi tauhid uluhiyyah menurut terminologi ialah keyakinan yang teguh bahwa hanya Allah yang berhak disembah disertai dengan pelaksanaan pengapdian atau penyambahan kepadanya saja dan tidak mengalihkannya kepada yang selainnya. Ungkapan yang paling detail tentang makna ini adalah ucapan syahadat yaitu Laa Ilaaha Illallaah yang maknanya tidak ada dzat yang berhak disembah selain Allah.[6]
Dengan kata lain tauhid uluhiyah adalah mengiktikadkan bahwa Allah sendirilah yang berhak disembah dan berhak dituju oleh semua hambanya, atau dengan kata lain tauhid uluhiyah adalah percaya sepenuhnya bahwa allah berhak menerima semua peribadatan mahluk, dan hanya Allah sajalah yang sebenarnya yang harus disembah.
Manusia bersujud kepada Allah. Allah tempat meminta, Allah tempat mengadu nasibnya, manusia wajib mentaati perintah dan menjauhi larangannya. Semua yang bersifat kebaktian kepada Allah tanpa perantara (wasilah). Allah melarang kita menyembah selainnya, seperti menyembah batu, menyembah matahari dan lain sebagainya. Dan itu semua adalah perbuatan syirik yang sangat besar dosanya dan sangat dibenci Allah, bahkan Allah tidak akan mengampuni dosa musyrik itu.
Dengan kata lain yang dimaksud tauhid uluhiyah adalah meyakini bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT. firman Allah SWT:
وا لهكم ا له واحد لاا له الاهوا لرحمن ا لرحيم
“Dan tuhanmu adalah tuhan yang maha esa, tidak ada tuhan selain dia, yang maha pemurah lagi maha penyayang”. (QS. Al-Baqoroh: 163).

Singkatnya, keyakinan tentang Allah. Allah sebagai tuhan satu-satunya, baik dzat maupun sifatnya, dan perbuatan itulah yang disebut tauhid uluhiyah. Uluhiyah kata nisbatnya dari kata Al-Illah yang berarti tuhan yang wajib ada, yaitu Allah, sedangkan uluhiyah berarti Allah sebagai satu-satunya tuhan.
Satu adalah Esa pada Dzat-Nya, berarti bahwa dzat Allah SWT tidak tersusun dari bagian-bagian, hal itu disebabkan karena dzat Allah SWT itu bukan benda fasik. Tidak seperti benda-benda fisik dan benda-benda lainnya.[7]
Kemudian dengan keyakinannya dia bermuamalah kepada Allah dengan ihlas, beribadah dan menghambakan diri hanya kepadanya, serta berdo’a dan berseru hanya kepadanya, ia juga mengimani bahwa Allah pengatur segala urusan, pencipta segala mahluk, pemilik asmaul husna dan sifat-sifat sempurna.[8]
Jadi tauhid Uluhiyah ialah kita percaya bahwa Allah lah satu-satunya tuhan yang wajib disembah dan tiada sekutu baginya. Untuk membedakan antara tauhid Rububiyah dan Uluhiah secara singkatnya adalah tauhid uluhiyah hanya dimiliki oleh orang-orang mu’min saja, sedangkan tauhid rububiyah semua orang mempercayainya, sekalipun dia adalah orang kafir.
3.     Asma wa Sifat
Iman kepada asma-asma Allah dan sifat-sifat Allah yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis yaitu mengimani semua asma-asma dan sifat-sifat Allah secara utuh tanpa menyamakannya dengan sifat dan nama manusia. Allah berfirman:
يعلم ما بين ايد يهم وما خلفهم ولايحيطون به علما
“Dia mengetahui apa yang ada dihadapan mereka dan apa yang ada dibelakang mereka sedang ilmu-ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya”. (QS. Thaha: 110).[9]

Manhaj Ahlussunah Waljamaah dalam bab asma dan sifat-sifat Allah adalah mensifatkan Allah dengan sifat-sifat yang telah ditetapkannya untuk dirinya atau yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Tanpa takwil, takyit, tamsil dan tasybih. Hal itu sejalan dengan apa yang telah digariskan Allah melalui firmannya:
ليس كمثله شيء وهوا لسميع ا لبصير
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengannya dan dia maha pendengar lagi maha penyayang. (QS. Asy-Syura: 11)[10]

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda:

“Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, barang siapa yang menghitungnya (membacanya) maka ia akan masuk surga.

Terdapat kesepakatan diantara para ulama salaf bahwa wajib mengimani semua nama-nama Allah. Misalnya Al-Qadir (yang maha kuasa) mengandung makna bahwa kita harus percaya bahwa Allah maha kuasa untuk melakukan segala hal, dan bahwa kekuasaan-Nya adalah sempurna dan segala hal yang ada di alam berasal dari kekuasaan-Nya.
Dalam teologi islam terdapat pertentangan mengenai masalah apakah tuhan mempunyai sifat atau tidak. Sifat, dalam arti sesuatu yang mempunyai wujud tersendiri. Sebagian aliran mengatakan ada dan sebagian lain mengatakan tidak. Disinggung Muhammad Abduh dalam risalah ia menyebut sifat-sifat tuhan. Mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi tuhan ataukah lain dari esensi tuhan. Ia jelaskan bahwa hal itu terletak diluar kemampuan manusia untuk mengetahuinya. Tetapi sungguhpun demikian ia kelihatannya lebih cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi tuhan walaupun ia tidak tegas mengatakan demikian.[11]
Al-Qur’an menawarkan terhadap orang-orang kafir dan penolak dalil dimana pikiran-pikiran rasional tidak mempunyai pilihan selain untuk menegaskan dan dimana tidak ada pikiran logis yang dapat menolaknya. Allah maha mulia berfirman:

Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu (sebab)pun ataukah mereka telah menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan seluruh langit dan bumi itu? Namun mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). (QS. Ath-Thur: 35-36).

Al-Qur’an mengatakan kepada mereka, Kamu ada dan kamu tidak dapat mengingkari hal ini, langit dan bumi ada diluar keraguan apapun, ini semata-mata merupakan persoalan yang masuk akal terhadap pikiran yang rasional bahwa hal-hal yang ada pasti memiliki sebab-sebab keberadaannya. Hukum ini menyatakan bahwa suatu hal mungkin tidak dapat terjadi dengan sendirinya, dan sesuatu itu tidak dapat dengan sendirinya tanpa hal lain yang menyebabkannya. Karena sesuatu itu tidak memiliki kekuatan dalam dirinya sendiri untuk eksis dengan sendirinya. Dan sesuatu itu tidak dapat dengan sendirinya menyebabkan sesuatu yang lain untuk eksis. Karena sesuatu itu tidak dapat memberikan suatu lainnya apa yang ia sendiri tidak miliki.[12]
Kaum muslimin pada abad hijriyah kalau bertemu dengan ayat-ayat yang membicarakan sifat-sifat tuhan, seperti tempat yang berisi tangan tempat bagi tuhan, tidak mau membicarakan isinya juga tidak mau menukilkan isinya meskipun ia berpendirian seharusnya tidak diartikan menurut lahirnya, karna tuhan maha suci dan tidak bisa disamakan dengan mahluk. Dengan kata lain tidak ada persamaan antara alam lahir dengan alam ghaib, karena itu persoalan sifat tidak pernah menjadi pembicaraan pada masa sahabat dan tabi’in. akan tetapi pada masa sesudah mereka timbullah persoalan sifat dan menjadi pembicaraan golongan-golongan islam.
Secara singkat dalam soal tentang sifat ada 2 pendapat:
1.     Pendapat mu’tazilah yang meniadakan bilangan bagaimanapun juga macamnya, karena sifat-sifat adalah hakekat dzat, sedang dzat tuhan satu, Esa tidak mungkin yang qodim (terbilang).
2.     Pendapat yang mengatakan bahwa sifat-sifat itu lain dari pada dzat, pendapat ini dibagi menjadi dua:
a.      Pendapat orang masehi yang mengatakan berbilangnya yang qodim, dan masing-masing berdiri sendiri.
b.     Pendapat golongan Asy-Ariyah yang mengatan bahwa sifat-sifat tuhan meskipun qodim, ada pada dzat tuhan yang satu.
Kalau kita perbandingkan pendapat-pendapat tersebut, pendapat mu’tazilah yang lebih dekat dengan prinsip-prinsip keesaan. Meskipun mereka disayangkan mencetuskan persoalan yang sukar diselesaikan akal manusia hanya dari segi inilah perbuatan mereka dikatakan jauh dari syara’ dan berlawanan dengan Al-Qur’an. Pendapat yang benar dalam soal sifat ialah pengakuan adanya sifat-sifat pada tuhan tanpa membicarakan qodim.[13]

IV.    KESIMPULAN
1.     Kata at-tauhid berasal dari kata wahhada-yuwahhidu-tauhidan. Kata wahhada memiliki makna kesendirian sesuatu dengan dzat, sifat atau af’alnya dan tidak adanya sesuatu yang menyerupainya dan menyertainya dalam hal kesendiriannya.
2.     Tauhid rububiyah ialah suatu kepercayaan bahwa yang menciptakan alam dunia beserta isinya ini hanyalah Allah sendiri tanpa bantuan siapapun
3.     Tauhid uluhiyah adalah mengiktikadkan bahwa Allah sendirilah yang berhak disembah dan berhak dituju oleh semua hambanya
4.     Iman kepada asma-asma Allah dan sifat-sifat Allah yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis yaitu mengimani semua asma-asma dan sifat-sifat Allah secara utuh tanpa menyamakannya dengan sifat dan nama manusia.
5.     Bukhari dan muslim meriwayatkan bahwa Abu Burairah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, barang siapa yang menghitungnya (membacanya) maka ia akan masuk surga.

V.       PENUTUP
Demikian makalah ini saya buat. Adapun dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan yang masih perlu saya sempurnakan. Untuk itu kritik dan saran sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan saya ucapan terima kasih atas segala partisipasinya, semoga bermanfa’at. Amin.







[1] Muhammad bin A.W. Al-‘Aqil, Manhaj ‘Aqiqah Imam Asy-Syafi’I, cet.5, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2009), hlm. 279
[2]  Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 17
[3] Kenyataan yang diterima sebagai kebenaran tanpa perlu dibuktikan lagi
[4] Muhammad bin A.W. Al-‘Aqil, Op.cit, hlm. 367
[5] Zainuddin, Op.cit, hlm. 20
[6] Muhammad bin A.W. Al-‘Aqil, Op.cit, hlm. 279
[7] Zainuddin, Op.cit, hlm. 18
[8] Muhammad bin A.W. Al-‘Aqil, Op.cit, hlm. 230
[9] Zainuddin, Op.cit, hlm. 22
[10] Muhammad bin A.W. Al-‘Aqil, Op.cit, hlm. 397-398
[11] Harun Nasution, Muhammad Abduh Dan Teologi Rasional Mu’tazilah,  (jakarta: universitas indonesia (UI Press), 1987), hlm. 71
[12] Umar Al-Asyqar, Belajar Tentang Allah, (Jatiwaringin: Sahara intisains, 2008), hlm. 106-107
[13] Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam),  (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1980), hlm. 95-97